My Shout Box

Name :
Web URL :
Message :
:) :( :D :p :(( :)) :x

Anda pengunjung ke:

Minggu, 05 Maret 2006

MENCORENG MUKA SENDIRI

Raju Masih Kecil Kok Sudah Dipenjara...
(Kompas, 22 Februari 2006)

Raut ketakutan terpancar di wajah mungilnya. Suara bocah kelas III SD itu pun terbata. Jiwanya terguncang hebat.Ruang sidang, petugas berseragam, dan rumah tahanan mungkin akan menjadi mimpi buruk bagi Muhammad Azwar (8) sepanjang hidupnya.
Bocah yang akrab dipanggil Raju oleh teman-teman sepermainannya itu harus memikul beban yang tak semestinya ditanggung anak seusianya. Tak terbayangkan, perkara kecil, perkelahian antarteman, berbuntut masuk ruang tahanan dan sidang di pengadilan berhari-hari. Sidang dijalaninya di Pengadilan Negeri Stabat Cabang Pangkalan Brandan, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara. ”Raju malu diejek teman-teman di sekolah. Mereka bilang, Raju masih kecil kok sudah dipenjara,” tutur Raju.
Rabu siang, 31 Agustus 2005, yang menjadi awal semua peristiwa ini, mungkin tak diingat Raju. Ia hanya tahu, hari itu sepulang sekolah dia diejek Armansyah, kakak kelasnya yang berumur 14 tahun. Perkara saling ejek anak SD yang lumrah terjadi ini berbuntut perkelahian. Raju tak terima dengan ejekan Armansyah. Mereka berkelahi.
Keduanya sama-sama terluka. Masih terlihat bekas cakaran di wajah dan robekan di bibir Raju. Demikian pula Armansyah. Dari visum dokter, iga dan pinggul kirinya mengalami memar.

Seharusnya perkara ini selesai saat kedua orangtua anak-anak ini bertemu. Sugianto, ayah Raju, sepakat membiayai pengobatan Armansyah. Namun, entah mengapa, orangtua Armansyah mengadukan Raju kepada polisi. Anak bungsu pasangan Sugianto dan Saedah itu disangka melakukan penganiayaan. Sugianto kini menyesal. Mengapa ketika Raju yang juga mengalami memar dan luka di wajahnya tak divisum dokter. ”Anak saya juga mengalami penganiayaan,” ujar Sugianto. Maka, mulailah mimpi buruk dalam kehidupan Raju. Pada September 2005, tiga kali Sugianto harus membawa Raju ke Kantor Polisi Sektor Gebang, Kabupaten Langkat, untuk disidik. Dalam pemeriksaan, Raju sama sekali tidak didampingi penasihat hukum ataupun petugas dari Balai Pemasyarakatan Anak (Bapas).

Petugas Bapas terkait sesungguhnya bisa memberikan rekomendasi apakah Raju layak ditahan atau tidak. Saat dalam proses penyidikan, Raju memang belum ditahan.
Berkas perkara Raju dilimpahkan ke Kejaksaan Negeri Stabat Cabang Pangkalan Brandan. Perkara ini dilimpahkan ke Pengadilan Negeri Stabat Cabang Pangkalan Brandan pada 12 Desember 2005.

Saedah, yang mendampingi Raju pada sidang pertama, menuturkan betapa anaknya ketakutan. ”Raju menangis minta pulang. Ia sangat takut,” ujarnya.
Ruang sidang menjadi mimpi buruk kedua Raju setelah kantor polisi.
Hakim tunggal yang mengadili perkara Raju, Tiurmaida H Pardede, dirasakan telah menyidangkan perkara ini demikian ”tegas”. Raju merasa diperlakukan sebagai pesakitan yang pantas duduk di kursi terdakwa. Suara tegas ibu hakim menjadi seperti bentakan yang menakutkannya.

Raju akhirnya menangis di persidangan. ”Raju takut karena bu hakimnya bentak-bentak Raju,” ujar bocah yang lahir pada 9 Desember 1997 itu.
Yang membuat orangtuanya prihatin, perkataan sang hakim pada sidang pertama seperti sudah menyudutkan Raju. Menurut Saedah, pada sidang pertama hakim langsung memvonis anaknya. ”Hakim bilang, dari raut mukanya saja dia tahu bahwa anak saya memang anak nakal,” ujar Saedah.

Di persidangan kedua, 19 Januari 2006, Raju benar-benar menjadi pesakitan. Oleh sang hakim, bocah yang hobi bermain sepak bola sepulang sekolah ini diharuskan menjalani penahanan di Rumah Tahanan (Rutan) Pangkalan Brandan, terhitung sejak hari itu hingga 2 Februari. Raju dianggap memberikan keterangan berbelit sehingga perlu ditahan. ”Raju takut kerangkeng (penjara). Banyak orang jahat di sana,” ujar anak itu dengan mata berkaca-kaca.
Tak tega melihat penderitaan anaknya, Sugianto pun tiap malam harus rela mendampingi anaknya di rutan. ”Raju diperbolehkan menginap di ruangan kantor, tidak di sel,” ujarnya.

Ketakutan yang teramat sangat dan rasa rindu dengan suasana rumah, teman-teman, dan sekolah membuat Raju stres. Hampir setiap saat Raju menangis minta pulang agar bisa sekolah. Selama 14 hari Raju benar-benar dikurung. Sugianto dengan sangat mengiba meminta agar anaknya diizinkan bersekolah. Ia tak tahan setiap saat melihat Raju menangis di ruang tahanan. Raju akhirnya diizinkan keluar rutan pada jam sekolah. ”Setiap pagi saya jemput Raju untuk sekolah. Sorenya saya pulangkan ke rutan,” kata Sugianto menceritakan.

Kasus Raju mungkin tak akan pernah diketahui andai tak ada staf divisi hukum Pusat Kajian dan Perlindungan Anak (PKPA) Medan, Jonathan Panggabean dan Suryani Guntari. Keduanya secara kebetulan tengah berada di Pengadilan Negeri Stabat Cabang Pangkalan Brandan pada 2 Februari 2006, atau pada persidangan ketiga Raju. Suryani merasa tak seharusnya anak di bawah usia delapan tahun menjalani persidangan. Jonathan yang juga berprofesi pengacara akhirnya menawarkan bantuan menjadi kuasa hukum Raju. Namun, jalan terjal masih menghadang Raju dan orangtuanya. Permohonan penghentian persidangan belum mendapat hasil. ”Padahal, pada saat kejadian perkara, usia Raju masih tujuh tahun delapan bulan sehingga secara formal peradilan terhadap Raju tidak sah,” ujar Jonathan.

Namun, Tiurmaida bersikukuh perkara Raju harus terus disidangkan karena pada saat berkas masuk ke pengadilan usia Raju telah mencapai delapan tahun satu bulan.
Persidangan demi persidangan semakin merusak mental Raju. Apalagi hakim seperti tak melihat sosok lugu Raju.

Saedah menuturkan, pada hari persidangan, Raju harus menunggu panggilan sidang di ruang tahanan yang memang biasa tersedia di pengadilan. Di ruangan itu berkumpul banyak terdakwa lain yang menunggu untuk disidangkan. Tak ada satu pun anak-anak.
Saat itu waktu menunjukkan pukul 14.00 dan Raju tampak letih karena belum makan sejak pagi. Saedah yang membawa bekal makanan dari rumah meminta izin kepada Ketua Pengadilan Negeri Stabat Syamsul Basri agar anaknya bisa keluar sebentar untuk disuapi makanan. Permintaan itu ternyata ditolak Syamsul dengan alasan izin mengeluarkan tahanan harus dari hakim yang menyidangkan perkara.
”Padahal, anak saya belum makan sejak pagi. Saya hanya minta izin agar bisa menyuapi anak saya makan karena enggak mungkin saya lakukan di dalam ruang tahanan,” ujar Saedah sambil terisak.
Mata Raju berkaca-kaca melihat ibunya menangis. Bocah ini seperti mengerti kesedihan orangtuanya.(Khaerudin)




”Raju malu diejek teman-teman di sekolah. Mereka bilang, Raju masih kecil kok sudah dipenjara,”

Yah… begitulah nasib anak yang berumur tujuh tahun delapan bulan yang dipenjara karena berkelahi dengan abang letingnya di sekolah. Raju, dengan wajah yang lugu dan betubuh mungil ini harus menjalani 14 hari mimpi buruknya di dalam kerangkeng Pangkalan Brandan, Sumatera Utara.

Semua kita pasti udah tahu gimana proses hukum Raju, walaupun kasus ini sudah dimulai sejak 2 Februari lalu, tapi isu ini mendorong aku untuk berbuat sesuatu, paling tidak mengisi blog ini.

Kasus yang seharusnya bisa diselesaikan dengan kekeluargaan itu seharusnya tidak berbuntuk pada penahanan anak di bawah umur.

Pepatah memang tidak bisa disalahkan, Dimana bumi dipijak, disitu langit dijunjung. Mungkin itu yang menjadi pegangan orang tua Armansyah. Mereka tinggal di Indonesia dan menjadikan tanah ini sebagai pijakan mereka untuk dapat menjunjung kebobrokan dan kerapuhan hukum di sana.

Hukum yang dapat dibeli, hukum yang menjadi alat, dan hukum yang pandang bulu, merupakan salah satu ciri-khas budaya bangsa ini. Mungkin cara unik yang dilakukan oleh orang tua Armansyah dalam menjunjung langit diatas bumi yang dipijaknya adalah dengan cara ini, membeli hukum.

Lihat saja hakim yang menyidangkan kasus Raju, betul-betul tidak memiliki hati nurani, bahkan yang pantas disebut pesakitan adalah dia. Menyidangkan anak di bawah 8 tahun adalah tidak sah, tapi apakah anda berbicara dengan uang, tentu saja tidak, uang seakan-akan menjadi interpreter dalam menterjemahkan bahasa korup yang mengalir subur di negeri ini.

Kini kepercayaan rakyat terhadap lembaga hukum di negeri ini seakan luntur habis, tanpa sisa, sudah selama 60 tahun lembaga pengayom masyarakat ini mementaskan sandiwara yang tiada henti dari babak ke babak berikutnya. Tapi, apakah lembaga yudisial mampu memperbaiki nama baik lembaga hukum orang berduit itu???. Bahkan
Komisi Perlindungan Anak juga angkat bicara, apakah masih ada secercah harapan bagi Raju??? Yah... kita lihat aja nanti.
Pantau berita selanjutnya di disini

5 komentar:

idem ma salman ka...
eniwei... aku juga malu nih ma eka, udah keduluan nulis tentang si raju :(

arrrghh..
indonesia emanggg...
dodooolll....

nggak pa2 mr alex tulis aja, siapa tahu beda pendapat kali

sedih ngeliat dan mendengar anak sekecil itu diperlakukan begitu

Posting Komentar

Silahkan memberikan komentar terkait dengan isi tulisan di atas. Mohon maaf jika saya terpaksa menghapus komentar yang tidak berhubungan dan/atau terkesan hanya mencari backlink tanpa komentar yang berbobot.