Sore itu cuaca hampir saja mencapai 35ÂșC, ia mendorong becaknya untuk berteduh dibawah sebuah pohon. Pohon itu bukanlah pohon yang bisa di katakan rindang, tapi tak apalah, dari pada otak meleleh oleh panasnya matahari hari ini, pikirnya dalam hati. Suasana kampus pada jam sekarang biasanya sudah sepi dari aktivitas belajar mengajar, tapi ia tetap setia menunggu pelanggannya berhenti sejenak di depan becaknya untuk membeli kue ataupun buah yang di jajanya sedari pagi ini. Jam sudah menunjukkan pukul 15.00 WIB, tapi ia tetap setia duduk dan menanti suatu harapan di sana. Kue belum habis semua, buah pun tinggal beberapa potong lagi. Ia berharap, sisa itu bisa habis terjual sebelum ia pulang.
Namanya Fadli Abdullah, ia adalah seorang penjual kue dan buah-buah segar serta minuman ringan, ia biasa mangkal di simpang Fakultas Dakwah IAIN Ar-Raniry Banda Aceh. Setiap pagi, ia mendayung becak tiga rodanya menuju simpang Fakultas Dakwah, Di atas becaknya itu ada sebuah lemari kecil berukuran 10 x 30 cm, lemari itu diisinya dengan berbagai macam rokok dari beberapa merek. Di sebelahnya ada kotak berwarna merah, bertuliskan merek salah satu minuman ringan. Kotak itu ia gunakan untuk menaruh es batu yang ditimpa dengan minuman ringan berkemasan seperti gelas. Dalam mendayung becaknya itu, ia selalu harus menjaga keseimbangannya, itu harus dilakukannya sebab di atas becaknya itu ada sepetak kotak tembus pandang, karena di bungkus dengan kaca di sekelilingnya. Kotak itu ia isi dengan kue-kue yang akan ia jual.
Bang Fadli – sapaan akrab mahasiswa untuk dirinya – sudah mulai berjualan di IAIN Ar-Raniry sejak tahun 1996. Waktu itu, ia masih berstatus penjaga kios kepunyaan orang lain. Kios tersebut terletak di simpang antara Fakultas Syariah dan Fakultas Tarbiyah. Setelah satu tahun ia berjualan di kios orang lain, ternyata nasib berpihak padanya, tahun 1997 ia berhasil mendapat kios dan berjualan dengan jerih payah sendiri. Ia tidak bekerja pada orang lain lagi.
Konflik di Aceh ternyata memaksa Fadli merantau ke Kota Banda Aceh, ia berangkat dari kampung halamannya di Paloh Raya di kecamatan Mutiara Timur meninggalkan ibunda tercinta untuk mengadu nasib ke kota. Ia menjadi tulang punggung keluarga sejak ayahnya meninggal. Ia harus memenuhi kebutuhan keluarganya, sehingga merantau ke Banda Aceh pun menjadi pilihan untuk mencari penghidupan yang lebih baik.
Penghasilannya menurun paska pemindahan mahasiswa Fakultas Tarbiyah ke gedung baru, ia memutuskan untuk pindah. Akhirnya pada tahun 2000 ia pindah ke simpang Dakwah, hal ini ia lakukan karena banyak mahasiswa Tarbiyah yang sudah menempati gedung baru yang sangat berjauhan dengan tempat ia berjualan.
PADA awal kedatangannya ke Darussalam, ia menyewa kamar kos di Dusun Sederhana Darussalam. Tempat kosnya tidak jauh dari lingkungan kampus, sehingga ia bisa berjalan kaki ke tempat ia biasanya berjualan kue.
Setiap hari, mulai jam 07.30, ia sudah berada di tempat ia bejualan, sebelum suasana kampus mulai ramai, ia membersihkan rak dan menyiapkan kue-kue yang akan di jualnya di sana. Biasanya, kue-kue yang ia jual, berasal dari titipan dari nyak-nyak dan para pembuat kue yang tinggal di sekitar kampus. Dari hasil penjualan kue tersebut, 10 % keuntungannya diberikan ke Fadli. Selain kue, rokok, minuman botol, dan permen merupakan modal yang ia keluarkan sendiri.
Dari hasil jualannya itu, bisa mencukupi biaya hidupnya sehari-hari di Darussalam. “Kadang-kadang kalo ada rezeki lebih, saya kirim ke kampung” begitu katanya. Memang Fadli adalah satu-satunya tulang punggung keluarganya, ia merasa berkewajiban mengirimkan sedikit rezeki berlebih untuk keluarganya di kampung.
Konflik yang berkepanjangan di Aceh, bukan saja membuat orang-orang kecil seperti Fadli susah mencari pekerjaan, tetapi juga membuat Fadli harus berpisah jauh dengan keluarganya. “Waktu konflik saya jarang pulang kampung, biasanya 1 atau 2 kali dalam setahun, itu pun waktu lebaran puasa dengan lebaran haji”. Fadli bukanlah orang yang emosional, ia selalu sabar menanti saat-saat kepulangannya ke kampung halaman tercinta.
Sepertinya nasib baik berpihak padanya, baru setahun bekerja sebagai penjual kue di kios orang lain, ia sudah bisa mandiri dengan berjualan dengan modal sendiri, walaupun bukan kios tetapi becak dayung yang ia punya.
Hari berganti hari, bulan berganti bulan, tahun pun berganti. Dari mendayung becak, pada tahun 2002 ia bisa memiliki sebuah kios kecil berukuran 50 cm x 300 cm. Baginya, itu adalah suatu kemajuan, ia tidak perlu mengeluarkan keringatnya setiap pagi dan siang untuk mendayung becaknya itu.
Sejak ada kios tersebut, penghasilannya perlahan bertambah, dengan penghasilan itu, ia bisa membeli sepeda motor bekas Honda Astrea Grand. “Alhamdulillah, walaupun bekas, yang penting bisa jalan-jalan pakek kereta ini”.
Tapi, sepertinya takdir berkata lain. Tahun 2003, pihak Rektorat IAIN Ar-Raniry mengeluarkan keputusan bahwa, semua pedagang di pinggir jalanan yang berada dalam komplek IAIN Ar-Raniry tidak boleh lagi berjualan. Alasan pihak Rektorat adalah masalah kebersihan dan keindahan kampus yang tidak enak di pandang mata. Fadli merupakan salah satu pejual kue itu.
Keputusan rektorat itu bukan saja memukul Fadli sebagai penjual kue, tetapi juga membuat mahasiswa geram. Pasalnya, keberadaan para penjual kue di pinggir jalan seperti Fadli, sangat membantu mahasiswa. Contohnya seperti yang di katakan oleh Faisal, salah satu mahasiswa Fakultas Dakwah, “dengan ada Bang Fadli, kalo kita masuk kuliah sampai siang, kita nggak perlu pulang cuma untuk makan siang, dengan kue Bang Fadli aja udah cukup”.
Faisal bukanlah satu-satunya mahasiswa yang menyesali keputusan Rektor tersebut. Banyak mahasiswa dari fakultas lain yang juga menyayangkan pernyataan Rektor IAIN yang dianggap tidak mengerti keadaan kampus dan mahasiswa. Fahrul misalnya, ia adalah salah satu mahasiswa Fakultas Tarbiyah dan aktif di Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM), ia merasa sangat berat untuk pergi ke kantin yang berada di lingkungan biro, hanya untuk membeli sepotong atau dua potong kue guna mengganjal perutnya, “Kantinnya jauh kali, kalo lagi kelaparan, cukop capek jalan ke sana. Tapi kalo ada bang Fadli di simpang Dakwah ini, nggak perlu capek-capek ke kantin sana”.
TERIK matahari hampir berada di atas ubur-ubur, tapi Fadli tetap tabah menjalani hari-harinya sebagai penjual kue jalanan. Paska 3 hari dikeluarkannya surat keputusan Rektor, yang membuatnya tergusur dari lingkungan IAIN itu, ia tetap sabar menjalani hidupnya. “Kalo nggak boleh tarok kios di pinggir jalan, ya udah dayong becak lagi macam dulu” ungkapan seorang Fadli yang tidak mau menyerah dari hidup.
Ternyata, Fadli tidak sendirian, berita digusurnya pedagang kue jalanan ini terdengar oleh Zamzami. Zamzami adalah Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Dakwah (BEMAF-Dakwah) periode 2004-2005. Ia mengajak Teuku Zuliadi sebagai Ketua Biro Kesejahteraan Mahasiswa BEMAF Dakwah pada waktu itu untuk menanyakan alasan penggusuran penjual kue jalanan itu. Ditemani oleh Roiyani, Zamzami dan Teuku Zuliadi menghampiri kepala Tata Usaha Biro Rektor IAIN. Intinya mereka protes terhadap pernyataan Rektor pada saat itu, Zamzami dan kawan-kawan menilai, keputusan tersebut sangat merugikan mahasiswa. “Dengan di gusurnya pedagang tersebut, mahasiswa harus pulang kerumah hanya untuk makan, padahal banyak mahasiswa yang rumahnya jauh, dan tidak punya banyak uang makan di luar.” Pernyataan Zamzami dan kawan-kawanya itu di sambut positif oleh kepala Tata Usaha Biro.
Namun, keadaan berubah brutal ketika Kapala Satuan Pengaman (Satpam) IAIN dan beberapa anak buahnya masuk keruangan, “Hana meukat-meukat le di jalan, kantin kana, sep saboh keupeu leu-leu that (nggak ada jualan lagi di jalan, kanti sudah ana, cukup satu aja untuk apa banyak sekali)”.
Fadli yang ikut dalam rombongan Zamzami tersebut sempat mendapat bogem dari salah satu Satpam yang ikut dengan Kepala Satpam itu. “Waktu itu saya tidak tahu kalo ada satpam di belakang, tiba-tiba saya ditarik keluar dan dipukul”, sampai saat ini, Fadli masih mengingat kejadian itu, seakan ia tidak akan pernah melupakan kejadian pahit tersebut.
Melihat Fadli ditarik dan di pukul, rasa solidaritas Zamzami dan kawan-kawan makin menggebu-gebu, Roiyani sempat mengeluarkan kata-kata mutiaranya kepada Kepala satpam “ka pike kamonyo keulede? bek yak peget preman di kampus (kau pikir kami ini keledai? jangan buat preman di kampus)”. Suasana berubah makin kacau, Satpam juga tidak bisa menahan emosi ketika kepala mereka di hina oleh Roiyani. Aksi kejar-kejaran pun tidak bisa dihindari, Satpam mengejar Zamzami dan rekan-rekannya sampai keluar dari pagar Biro.
Sepanjang jalan menuju ke Sekret BEMAF Dakwah, Roiyani tidak bisa menghentikan gerutuannya terhadap kejadian barusan.
Ketika saya menjumpai Roiyani beberapa hari yang lalu, ia mengaku masih mengingat kejadian itu. “Leupah that lucu kejadian jih, nyo ku ingat han ek kukhem, tapi ke puah sempat kuludah i babah ateuh satpam nyan sidro (Sangat lucu kejadiannya, jika aku ingat-ingat nggak sanggup ketawa, tapi aku puas kerena sempat meludahi salah satu satpam)”.
SETELAH kejadian di Biro tersebut, sepertinya Fadli merasa jera, ia memilih diam dan menjalani hari-harinya seperti biasanya lagi, ia mendayung becak lagi.
Tidak tahan menahan kesepian di Banda Aceh, ia memutuskan menikahi Evi Susanti pada tahun 2004 lalu. Evi Susanti bukanlah wanita yang berasal dari satu kampung halamannya, ia seorang wanita yang berasal dari Lueng Putu, Kecamatan Bandar Baru, Aceh Pidie. Setelah beberapa bulan menikah di kampung halaman, Fadli kembali ke Banda Aceh meninggalkan istrinya. Ia harus melanjutkan hidupya, ia harus bekerja seperti biasanya untuk menghidupi istinya di kampung. Kini ia punya alasan untuk pulang kampung dua bulan sekali, walaupun kondisi Aceh waktu itu masih bergejolak, ia tetap harus pulang kampung untuk menjenguk istri tercintanya di sana.
Sekitar enam bulan istrinya di kampung, ternyata membuat Fadli masih kesepian di Banda Aceh. Akhirnya ia memutuskan untuk membawa Evi yang sedang hamil muda untuk tinggal di Banda Aceh bersamanya. Dengan penghasilannya menjual kue, ia mampu menyewa rumah sederhana di Jl. Tengku Di Blang 2, Tanjong Selamat.
Kamis, 6 Juli 2006 merupakan hari yang sangat bahagia bagi Fadli, di rumah kecil yang ia sewa itu kini hadir sesosok kecil yang membuat hati kedua insan itu berbunga bunga. Sikecil yang menjadi buah hati itu di beri nama Annisa.
Kini keseharian Fadli makin giat, ia harus bekerja lebih keras lagi untuk menghidupi keluarganya. Ia harus berusaha terus, agar cahaya kecil yang sekarang hinggap di rumahnya itu, semakin besar dan besar, sehingga mampu memberi cahaya hati dan hidup Fadli dan Evi.*